Kalumpang: Jantung Identitas Budaya Mamuju Sulbar yang Terancam Punah
- account_circle Muhammad Yusuf, S.H., M.H.
- calendar_month Sel, 15 Jul 2025
- visibility 124
- comment 0 komentar

Mamuju – Proclaimnews.id Peringatan Hari Ulang Tahun Mamuju ke-485 tahun 2025 menjadi momentum penting. Dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten Mamuju yang mewajibkan para pejabatnya mengenakan pakaian adat Kalumpang, ini adalah langkah awal yang patut diapresiasi untuk melestarikan serta menegaskan identitas budaya dan jati diri masyarakat Mamuju.
Permata Budaya di Balik Ancaman Modernisasi
Mamuju, ibu kota Provinsi Sulawesi Barat, memiliki permata budaya yang tak ternilai harganya: Kalumpang. Lebih dari sekadar nama geografis, Kalumpang adalah jantung identitas Mamuju. Ia menyimpan jejak peradaban prasejarah dan merupakan cikal bakal budaya Mandar. Namun, di tengah gempuran modernisasi dan minimnya perhatian, warisan berharga ini menghadapi ancaman serius.
Sudah saatnya kita, baik pemerintah maupun masyarakat, membuka mata terhadap urgensi pelestarian Kalumpang sebelum identitas kita sendiri luntur ditelan waktu.
Kalumpang: Saksi Bisu Peradaban Kuno Nusantara
Situs arkeologi Kalumpang adalah bukti tak terbantahkan akan kekayaan sejarah yang kita miliki. Dikenal sebagai salah satu situs arkeologi tertua di Indonesia, Kalumpang menyimpan bukti hunian manusia sejak 3.600 tahun yang lalu.
Penemuan artefak berusia ribuan tahun—mulai dari beliung, kapak batu, hingga tembikar kuno—menempatkan Kalumpang sebagai salah satu situs prasejarah terpenting di Nusantara.
Budaya tembikar Kalumpang, yang mirip dengan budaya Sa Huynh-Kalanay, bukan hanya sekadar penemuan biasa. Menurut Prof. Darmawan Mashud Rahman, seorang budayawan Mandar, tembikar ini adalah jendela penting untuk memahami migrasi Austronesia dan pembentukan masyarakat di kepulauan ini. Tanpa kesadaran akan nilai ini, kita kehilangan kepingan penting dari narasi besar peradaban bangsa.
Kalumpang dalam Denyut Nadi Suku Makki dan Kesenian Adat
Selain nilai historisnya, Kalumpang juga hidup melalui Suku Kalumpang atau Makki, yang masih menjaga tradisi nenek moyang mereka. Tari Sayo, yang sakral dan hanya bisa dibawakan oleh keturunan bangsawan (Tomakaka’) atau pemangku adat (Tobara’), adalah cerminan filosofi hidup dan rasa syukur yang mendalam.
Busana adat “Bei” yang unik dengan hiasan manik-manik dari kerang, serta kain tenun Sekomandi yang ditenun secara tradisional, bukan sekadar pakaian atau kain biasa. Itu adalah manifestasi nyata dari kekayaan kearifan lokal yang sayangnya semakin jarang terlihat dan dipahami oleh generasi muda. Bahkan, Kalumpang diyakini sebagai wilayah asal-usul nenek moyang orang Mandar, dengan keberadaan Kerajaan Talondo Kondo pada abad IV SM yang menunjukkan peradaban mapan sejak dahulu kala.
Hubungan persaudaraan antara To Makaka Kalumpang dan Mara’dia (raja) sangatlah erat, bahkan pernah menjadi tempat perlindungan.
Artikel Muhammad Amir berjudul “The Conflict Of Mandar With Dutch In 1862” menceritakan bagaimana La Matumpuang, yang bergelar To Masuri Lembang (Mara’dia Mamuju), pernah berdomisili di Kalumpang dan menjadi tempat perlindungan I Talaga Nae Lolo (Puang Lolo) dari kejaran pemerintah kolonial dan kaki tangan Belanda (Arsip Nasional Makassar No.354:127-128). Ini menunjukkan betapa strategis dan pentingnya posisi Kalumpang dalam sejarah Mandar.
Ancaman Kelestarian dan Tanggung Jawab Bersama
Pelestarian budaya Kalumpang terasa seperti perjuangan yang sunyi. Minimnya promosi, kurangnya keseriusan dalam penelitian dan konservasi, serta keterbatasan infrastruktur pendukung pariwisata budaya, membuat Kalumpang nyaris tenggelam dalam ingatan publik.
Bagaimana mungkin kita berharap generasi mendatang mengenal identitasnya jika kita sendiri gagal melestarikannya? Ini juga berlaku untuk peninggalan penting lainnya, seperti patung Buddha dari Sikendeng, Mamuju, yang sayangnya masih sangat minim informasinya di ruang publik sebagai edukasi bagi generasi bangsa.
• Masyarakat, Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat, dan Pemerintah Kabupaten Mamuju memiliki tanggung jawab bersama. Pelestarian budaya Kalumpang bukan hanya tentang membangun museum atau membuat festival sesekali. Ini adalah investasi jangka panjang untuk identitas daerah, potensi pariwisata berkelanjutan, dan pendidikan karakter bangsa. Diperlukan masterplan komprehensif yang melibatkan:
• Penguatan Riset dan Konservasi: Mendukung penelitian arkeologi dan antropologi yang berkelanjutan, serta upaya konservasi artefak dan situs.
• Edukasi dan Diseminasi: Mengintegrasikan nilai-nilai budaya Kalumpang ke dalam kurikulum pendidikan lokal dan menyelenggarakan program edukasi publik yang masif.
• Pengembangan Ekowisata Budaya: Membangun infrastruktur yang mendukung kunjungan wisatawan tanpa merusak situs, serta melibatkan masyarakat lokal sebagai pelaku utama.
• Regulasi Perlindungan Hukum: Membuat kebijakan yang kuat untuk melindungi situs dan praktik budaya dari perusakan atau komersialisasi yang tidak bertanggung jawab.
• Kolaborasi Multi-Pihak: Melibatkan akademisi, komunitas adat, seniman, sektor swasta, dan media dalam upaya pelestarian.
Menariknya, ada jejak kemiripan budaya yang melintasi batas geografis, seperti alat musik calong yang ada di Mandar dan Sunda, atau kisah-kisah yang mungkin menghubungkan dua budaya jauh ini, seperti sosok Siti KDI yang meski dikenal sebagai perwakilan Bandung, memiliki akar Mandar. Ini menunjukkan betapa kayanya dan saling terhubungnya warisan budaya di Nusantara.
Warisan untuk Masa Depan
Jika kita gagal melestarikan Kalumpang, kita tidak hanya kehilangan warisan masa lalu, tetapi juga kehilangan pegangan pada identitas kita di masa depan. Kalumpang adalah cerminan dari siapa kita sebagai masyarakat Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat.
Jangan biarkan identitas ini menjadi cerita yang hanya ada di buku sejarah, tanpa jejak nyata yang bisa diwariskan kepada anak cucu kelak.
Kita memiliki budaya yang hebat, menegaskan bahwa kita lahir dari peradaban yang kuat dan bermartabat. Mari kita jaga dan lestarikan bersama(*M.yusuf P*).
- Penulis: Muhammad Yusuf, S.H., M.H.
- Editor: El.kml
- Sumber: Pemerhati Budaya Mamuju
Saat ini belum ada komentar