Menurutnya, peran masyarakat dan organisasi seperti Gerakan Vendetta merupakan bentuk kontrol sosial yang konstruktif terhadap pelaksanaan proyek infrastruktur pemerintah.
“Kami mengapresiasi teman-teman Vendetta sebagai kontrol sosial bagi kami. Apa yang menjadi catatan mereka akan kami tindak lanjuti sesuai mekanisme yang berlaku,” ujar Arnol.
Gerakan Vendetta sebelumnya menyoroti minimnya keterbukaan dokumen kontrak, progres, dan realisasi anggaran proyek-proyek tersebut. Mereka menilai transparansi masih terbatas, meski kedua proyek menyedot anggaran besar.
Proyek pengendalian banjir Sungai Kalukku menelan anggaran sekitar Rp55 miliar, sementara pembangunan Bendungan Salulebbo di Mamuju Tengah memiliki nilai fantastis mencapai Rp1,24 triliun.
Menanggapi hal itu, Arnol menjelaskan bahwa BWS V terikat pada standar operasional dan aturan internal, khususnya terkait mekanisme penyediaan dokumen publik yang diatur melalui PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi).
“Sorotan Vendetta tadi mereka anggap tidak transparan karena belum menerima data dokumen. Namun kami terikat oleh aturan SOP dan mekanisme PPID, sehingga tidak bisa sembarangan memberikan dokumen tanpa prosedur resmi,” jelasnya.
Terkait laporan adanya dugaan insiden kekerasan saat penyampaian aspirasi di lingkungan BWS V, Arnol menyebut pihaknya akan melakukan evaluasi dan investigasi internal.
“Untuk kejadian aksi kekerasan kemarin, saya kebetulan tidak di tempat. Tapi kami akan evaluasi dan memeriksa rekaman CCTV yang tersedia untuk mengetahui kebenarannya,” tutup Arnol.
RDPU tersebut diharapkan menjadi momentum memperkuat transparansi dan akuntabilitas pengelolaan proyek strategis di Sulawesi Barat, serta membuka ruang dialog konstruktif antara pemerintah, DPRD, dan masyarakat sipil.
(**)
Saat ini belum ada komentar